Perjuangan Teungku Batee untuk Memerdekakan Pendidikan Anak di Aceh

Perjuangan Teungku Batee untuk Memerdekakan Pendidikan Anak di Aceh.


Personal BLOG | Saya selalu merindukan kisah-kisah inspirasi seperti kisah perjuangan dari Husaini M Amin atau akrab disapa dengan panggilan Teungku Batee ini.

Saat banyak orang sibuk memikirkan dirinya sendiri, dirinya justru sibuk berjuang untuk orang lain, khususnya terkait dengan memperjuangkan nasib pendidikan anak-anak di sekitarnya.

Wajah lelaki itu tertunduk beberapa saat kala mengingat perjuangannya saat konflik mendera. Mulutnya seolah tak mampu berkata-kata. Sambil menyela nafas, pria bernama lengkap Husaini M Amin atau akrab disapa dengan panggilan Teungku Batee ini, mengungkap satu keinginan yang masih dia simpan.

"Saya ingin memerdekakan pendidikan anak-anak Aceh," kata Husaini yang akrab disapa Teungku Batee, saat ditemui disebuah warung kopi di Banda Aceh, Kamis (13/8/2015) lalu sebagaimana saya kutip langsung dari detikNews [26/8/15].

Di kalangan pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Batee Iliek, namanya tentu tak asing lagi.

Dahulu, Teungku Batee pernah didapuk menjadi Komandan Operasi Wilayah Batee Iliek dengan jumlah pasukan mencapai 2000 orang. Berbagai pengalaman berperang semasa konflik, masih terkenang diingatannya.

Pasca penandatangan kesepakatakan damai antara Pemerintah Indonesia dengan GAM, Teungku Batee turun gunung. Ia kembali hidup layaknya masyarakat lainnya. Berselang lima tahun kemudian, ia nekat membuka sebuah Taman Kanak-kanak yang diperuntukkan untuk anak korban konflik dan anak-anak warga miskin.

Anak-anak itu membutuhkan sekolah, namun tak punya kesempatan dan biaya. Akhirnya, niat baik pun muncul. Dia tergerak untuk membuat TK Peunawa Hate. Mengalir kebaikan darinya sejak itu.

Sekolah untuk anak usia dini itu terletak di Desa Glumpang Payong, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh. Saban tahun saat penerimaan murid baru, puluhan anak-anak dari dua kecamatan di sana ikut mendaftar. Hingga kini, sekolah yang didirikan sejak lima tahun silam itu sudah mempunyai 250 alumni.

"Guru yang mengajar di sana ada delapan orang. Di sana mereka belajar layaknya sekolah di kota-kota," ungkap Teungku Batee.

TK Peunawa Hate milik Teungku Batee memang terletak di perkampungan. Hal itu sengaja ia lakukan agar anak-anak yang tinggal di desa-desa mendapatkan pendidikan sejak usia dini, layaknya anak-anak perkotaan. Sehingga begitu masuk Sekolah Dasar, paling tidak mereka sudah dapat membaca.

Alasan lainnya, Teungku Batee ingin menyeimbangkan pendidikan antara anak desa dengan anak-anak yang hidup di kota. Kala konflik berkecamuk, pendidikan di daerah-daerah, tertinggal paling belakang. Sekolah banyak yang dibakar oleh orang yang tidak diketahui identitasnya. Jikapun ada sekolah, proses belajar mengajar tidak berjalan normal. Pasca damai, pendidikan di daerah yang dianggap rawan mulai berdenyut kembali.

"Kalau mereka tidak belajar di TK, waktu masuk SD huruf (abjad) saja tidak dikenal. Ini sangat kita sayangkan," jelasnya.

Tiga tahun pertama saat TK baru didirikan, anak-anak yang bersekolah di sana digratiskan semua biayanya. Teungku Batee menanggung seluruh biaya mulai dari seragam sekolah hingga gaji guru. Namun belakangan, ia tak lagi menanggung sepenuhnya. Untuk seragam misalnya, ia subsidi hingga 70 persen.

"Hal ini kita lakukan agar orangtua punya tanggung jawab," kata Teungku Batee.

Teungku Batee punya alasan tersendiri mengenai tekadnya memajukan pendidikan. Menurut ayah tiga anak ini, mendirikan Taman Kanak-kanan merupakan keinginannya sejak dulu untuk melanjutkan perjuangan. Jika dulu ia perjuangannya dengan senjata untuk memerdekakan Aceh dari Indonesia. Kini usai damai, ia memilih berjuang untuk memerdekakaan pendidikan anak-anak desa.

Konflik selama 30 tahun yang terjadi di bumi Serambi Mekkah, telah merusak berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali anak-anak. Karena itu, jelasnya untuk memperbaiki generasi Aceh harus dilakukan salah satunya melalui pendidikan untuk anak-anak usia dini.

"Kalau mau memperbaiki Aceh bina anak-anak yang lahir di atas 2005, insyallah 20 tahun ke depan Aceh maju dan bermartabat. Tapi kalau anak-anak yang lahir di bawah 2005, itu tidak bisa dibina lagi karena mereka sudah rusak semua. Rusak gara-gara perang," ungkapnya.

Dari kisah dan perjuangan dari Teungku Batee ini kita belajar bahwa sepusing-pusingnya kita dengan masalah hidup pribadi kita, maka bukan menjadi alasan untuk kita agar tetap terus berbuat baik dengan siapapun yang membutuhkan kita. Bahkan kalau kita mau jujur dengan kondisi kita, sebanyak apapun beban dan masalah yang sedang kita hadapi, pasti ada kesempatan untuk tetap bisa berbuat kebaikan terhadap orang lain.