Ketika Anak Petani Tidak Mau jadi Petani

Pada awal tahun 1980 hingga tahun 1990an, banyak pakar mengatakan jika jumlah mayoritas penduduk di Indonesia dikatakan mayoritas berprofesi sebagai seorang petani.


Namun berdasarkan pengamatan saya dan logika berfikir saya, data tersebut diatas harus perlu direvisi dan terus diperbaiki. Karena menurut saya jumlah petani di Indonesia dari tahun ke tahun dipastikan terus menurun.


Memang saya tidak bisa memberikan data kongkritnya terkait penurunan jumlah petani di Indonesia. Tapi secara logika berfikir saya dan pengamatan yang terjadi, maka sangat mudah bagi kita untuk mengetahui jika jumlah petani di Indonesia dari tahun ke tahun dipastikan terus dan akan terus menurun.


Beberapa bukti dan logika berfikir yang saya maksud diantaranya yaitu semakin berubahnya fungsi lahan persawahan dibangun menjadi rumah, industri, pabrik, ruko, dan yang lainya.


Terkait kondisi tersebut pasti di sekitar anda juga bisa anda lihat secara nyata bukan?


Kita sering melihat sawah-sawah yang dahulu kita lihat setiap pinggiran jalan, kini sawah-sawah tersebut sudah berubah menjadi bangunan rumah, ruko, pabrik, dan lainya.


Dengan hilangnya dan berubahnya lahan yang tadinya sawah kemudian berubah menjadi rumah, pabrik, ruko, dan lainya, itu berarti petani yang tadinya mengolah sawah tersebut entah beralih profesi jadi apa kita tidak tahu.


Bukti lain jika jumlah petani memang dari tahun ke tahun memang selalu menurun yaitu banyaknya anak petani yang tidak mau jadi petani.


Jumlah anak petani yang kemudian mau jadi petani bisa dipastikan anak petani tersebut pasti merupakan anak petani yang memiliki lahan banyak dan luas saja. Sedangkan petani-petani yang memiliki lahan pertanian sedikit bisa dipastikan malas untuk melanjutkan profesi sebagai petani melanjutkan profesi orang tua yang berprofesi sebagai petani.


Dari dua data dan fakta dari kondisi tersebut sudah bisa memberikan gambaran kepada kita bahwa jumlah petani semakin lama semakin menurun.


Jika kita ingin menyebut penyebab dari kondisi tersebut diatas tentunya terlalu banyak. Tapi dari banyaknya penyebab tersebut, yang paling sangat disepakati yaitu terkait tidak adanya jaminan kesejahteraan terhadap profesi petani.


Hingga detik ini, kesejahteraan profesi petani masih menjadi urutan dibawah dibandingkan dengan profesi yang lain.


Jika profesi, guru, PNS, Buruh, Karyawan kantor, Dokter, dan profesi-profesi yang lain semuanya memiliki aturan dan jaminan yang lebih jelas dibandingkan dengan petani.


Berbeda dengan petani yang kesejahteraanya hanya ditentukan oleh para petani itu sendiri. Selebihnya, kesejahteraan petani hanyalah sebatas wacana dan selalu jadi alat kampanye politik yang strategis untuk mencari simpatik.


Lihatlah saat para politikus-politikus busuk berkampanye, pasti didalamnya tidak pernah lepas selalu dan selalu melibatkan janji ingin mensejahterakan petani.


Tapi lihatlah fakta, berkali-kali kampanye diadakan dan terpilih berganti-ganti presiden, tapi berkali-kali pula jaminan kesejahteraan untuk petani tetap mimpi.


koleksi pribadi


Saya sendiri termasuk anak yang terlahir dari seorang anak petani dan keturunan petani, dan saya merasakan bagaimana rasanya menderitanya menjadi seorang anak petani.


Hal itu kenapa yang kemudian saya tidak ingin menjadi petani dan justru ingin belajar tentang TI (Teknologi Informasi). Alasanya sederhana, saya ingin merubah saya dan keluarga saya menjadi lebih baik. Dan cara yang paling sederhana yaitu dengan cara tidak menjadi seorang petani.


Selama pemerintah negeri ini khususnya mereka para menteri yang menangani bidang pertanian dan perdagangan merupakan orang-orang yang "bodoh" dan tidak mampu meningkatkan kesejahteraan para petani bahkan malah sibuk membuat kebijakan import pangan dan import sapi bahkan sampai korupsi, maka selamanya pula tidak akan ada lagi kisah anak petani yang ingin menjadi petani.


Jika negeri kita merupakan lahan yang tandus dan gersang seperti padang pasir, mungkin wajar semua produk-produk pertanian dan pangan kita import. Tapi jika negeri ini teramat sangat subur tapi kok masih tetap import produk pangan dan produk pertanian, tidakkah itu "KEBODOHAN" yang nyata dari para pengelola negara?